Rabu, 16 Juni 2010

Akhir Perjalanan...


Sabtu (12/6), para aktivis River Defender mengakhiri kegiatan Ekspedisi Sungai Kampar di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan. Setelah melalui perjalanan sepanjang 380 kilometer, kali ini para aktivis menyempatkan diri untuk berkeliling melihat berbagai hal yang terjadi di kecamatan ini.
Para aktivis River Defender menjumpai hal menarik di kecamatan ini. Daerah ini memiliki pantai pasir yang cukup luas.




Begitu luasnya hingga ketika air surut hampir menghubungkan dua sisi Sungai Kampar. Beberapa kali perahu karet tim ekspedisi terpaksa tidak bisa dijalankan karena surutnya air sungai. Letak hamparan pasir di sungai ini pun dapat berpindah-pindah sewaktu-waktu. Menurut warga setempat kondisi ini kadang menyulitkan transportasi perahu, terutama bagi mereka yang tidak kenal alur pelayaran di wilayah ini. Berpindahnya alur pelayaran dan hamparan pasir ini dipengaruhi oleh gelombang pasang yang dikenal dengan istilah “bono”. Bono adalah gelombang pasang raksasa yang membawa serta pasir dan lumpur. Bono dapat menyapu apapun yang berada di sungai ini dengan kecepatan tinggi dan daya rusak yang hebat. Sekalipun berbahaya bagi pelayaran, namun fenomena alam menarik ini juga berpotensi sebagai atraksi wisata. Bono juga membuat pantai pasir yang dangkal di wilayah ini tampak indah.

Minggu, 13 Juni 2010

Hindari Bono, Tim Ekspedisi Sungai Kampar Bermalam di Teluk Binjai

Perjuangan sampai akhir. Slogan itu cocok dialamatkan kepada perjalanan hari terakhir Ekspedisi Sungai Kampar Tribun-River Defender.
TEPAT pukul 09.30, Jumat (11/6) tim ekspedisi kembali melanjutkan perjalanannya. Sebelum berangkat, dilakukan doa bersama yang dipimpin oleh seorang tetua masyarakat Pelalawan. Ini adalah perjalanan terakhir setelah tujuh hari menyusuri Sungai Kampar. Lancang perahu sudah menuju ke titik terakhir ekspedisi yaitu desa Teluk Meranti.
Sekalipun telihat lelah, namun anggota tim ekspedisi tetap semangat untuk menyelesaikan ekspedisi. "Tidak ada kata mundur, walaupun harus pake dayung!," seru Yoyon, salah seorang kapten perahu karet.
Yoyon adalah anak muda asal Bogor yang secara khusus datang ke Riau untuk terlibat dalam Ekspedisi Sungai Kampar. Ekspedisi ini diikuti oleh 14 orang aktivis River Defender dengan latar belakang berbeda-beda. Keprihatinan yang sama terhadap kondisi sungai, membuat mereka bergabung dalam River Defender.
Seorang aktivis yang lain, Dedi Panda mengatakan, "Walaupun saya harus libur berkerja, tapi demi masa depan sungai kita tak apalah".
Perjalanan hari ketujuh ini terasa lambat sekali. Perahu tidak dapat melaju kencang karena membawa beban yang cukup berat. Hanya satu mesin perahu yang digunakan untuk perjalanan ini. Beberapa menit selepas Pelalawan, ternyata tim ekspedisi kembali menghadapi masalah.
Bagian buritan perahu karet yang digunakan untuk menarik perahu karet yang lain ternyata nyaris terlepas. Syukurlah sang kapten segera mendeteksi hal ini. Akibatnya perahu pun harus kembali menurunkan kecepatannya.
Selama perjalanan tidak terlihat lagi aktivitas lalu lintas di sungai yang dulunya ramai dengan perahu, pompong dan kapal. Sepinya lalu lintas sungai ini karena tidak banyak lagi masyarakat yang menggunakan akses sungai. Telah ada jalan darat menuju beberapa tempat di wilayah hilir Sungai Kampar.
Beberapa kali perahu karet tim ekspedisi yang kandas di beting pasir. Beting pasir di wilayah hilir Sungai Kampar merupakan keunikan. Sulit untuk menebak lokasi betingnya karena letak beting tersebut sering berpindah-pindah. Jika kita tidak jeli melihat alur sungai, maka perahu kita akan kandas.
Menjelang malam perjalanan Tim Ekspedisi Sungai Kampar masih harus menempuh tiga jam lagi untuk sampai ke garis finish ekspedisi. Dengan hanya bermodalkan dua buah senter para aktivis River Defender ini tetap melanjutkan perjalanannya. Udara dingin mulai terasa, beberapa aktivis mulai mengantuk karena kelelahan dan perut yang mulai keroncongan.
"Dalam perjalanan malam seperti ini, saya membayangkan betapa tangguhnya orang-orang dulu yang hanya menggunakan perahu sederhana, dayung serta angin untuk menggerakkan perahu mereka menembus kegelapan," ujar Fatra, salah seorang aktivis River Defender.
"Ini mirip seperti cerita dalam lagu Lancang Kuning yang sangat melegenda," imbuh Fatra.
Tepat pukul 22.00, Tim Ekspedisi Sungai Kampar berlabuh di Desa Teluk Binjai. Para aktivis memutuskan untuk singgah di sini. Mereka mendengar kabar bahwa "bono" atau gelombang pasang besar akan terjadi tengah malam. Risiko perahu akan celaka terkena terjangan bono mendasari keputusan mereka, terlebih hanya satu perahu yang memiliki mesin.
Sekadar mengingatkan pembaca, ekspedisi diinisiasi oleh Yayasan Mitra Insani, Telapak Badan Teritori Riau, Hakiki, dan Aliansi Masyarakat Riau, serta didukung oleh harian Tribun Pekanbaru. Ekspedisi berlangsung selama tujuh hari, berakhir di Desa Teluk Meranti, Semenanjung Kampar, Kabupaten Pelalawan, 12 Juni.
Tim ekspedisi akan melewati 24 desa yang berada di pinggiran Sungai Kampar. Selama perjalanan nanti, mereka akan menginap di enam desa, yakni Desa Batu Sanggan, Desa Gunung Sahilan, Mentulik, Langgan, Desa Pelalawan dan terakhir Desa Meranti. Enam desa dipilih dengan alasan tertentu, khususnya kerusakan lingkungan yang terjadi disana.
Saat menginap inilah tim ekspedisi antara lain berdiskusi dengan warga tempatan dalam kampanye penyelamatan Sungai Kampar. Tim ekspedisi juga melakukan studi dengan meneliti bantaran sungai, kehidupan sosial masyarakat pinggiran sungai, ekologi hutan di sepanjang sungai, serta kualitas air sungai di beberapa titik. Semua ini nantinya akan menjadi masukan buat Pemprov Riau dalam mengelola lingkungan, khususnya sungai.
Sungai Kampar dipilih untuk kegiatan ini sebagai satu dari daerah aliran sungai (DAS) di Riau selain Sungai Siak, Sungai Rokan dan Sungai Indragiri,yang kurang mendapat perhatian dari pemerintah.
Sungai Kampar berada di dua kabupaten, yakni Kampar dan Pelalawan. Hulu Sungai Kampar sendiri berada di Provinsi Sumatra Barat, dengan panjang mencapai 413,5 kilometer dan kedalaman rata-rata 7,7 meter serta lebar rata-rata 143 meter. (*)

Sabtu, 12 Juni 2010

Pelalawan; Dari Kerajaan Menjadi Kelurahan

Pelalawan, Kamis (10/6). Seharian penuh berada di Keluarahan Pelalawan membawa arti tersendiri bagi para aktivis River Defender. Kelurahan ini sangat berbeda dengan kelurahan-kelurahan lain pada umumnya. Sekalipun hanya sebuah kelurahan di tengah hutan, ia telah menjadi saksi sejarah budaya Melayu di Riau sejak abad ke-14. Para aktivis River Defender berkesempatan untuk menggali informasi ini dari warga setempat. Informasi yang didapatkan pun jadi semakin lengkap dengan mengunjungi beberapa lokasi cagar budaya di Pelalawan.

Setelah sebelumnya membuat janji, para aktivis bertemu dengan seorang pejabat adat setempat. Ia bernama Edi Hanafi (51 tahun) yang dalam adat setempat bergelar Penghulu Koto. Dari beliau lah para aktivis akhirnya memahami sejarah kelurahan kecil ini.

“Di kelurahan ini dulu ada kerajaan islam yang asalnya dari Malaka,” ujarnya memulai penjelasannya.

Diawali dari larinya seorang raja bersama permaisurinya dengan sebuah perahu saat Malaka diserang Portugis. Dalam pelarian panjangnya akhirnya sang raja mendarat di daerah Pekan Tua di Kuala Kampar. Mereka lalu mendirikan sebuah kerajaan yang kemudian bernama Kerajaan Kampar dan berpusat di Pekan Tua.

Setelah sang raja meninggal, ia kemudian digantikan oleh salah seorang puteranya. Di bawah kepemimpinan puteranya ini, lalu kerajaan ini berusaha mencari tempat yang baru di wilayah hulu sungai. Orang-orang kerajaan ini menyusuri Sungai Kampar ke arah hulu hingga mencapai wilayah di mana kelurahan ini berada sekarang. Namun mereka tidak langsung memutuskan untuk menempati tempat ini, meskipun cocok dengan kebutuhan mereka. Tempat yang mereka cari kala itu adalah sebuah tempat dimana terdapat 2 buah anak sungai saling berhadapan. Nama kedua sungai itu adalah Sungai Rasau [sekarang disebut Sungai Hulu Bandar] dan Sungai Selempaya. Mereka hanya menandai tempat ini atau dalam bahasa setempat disebut “lalau”.

Mereka berperahu terus ke arah hulu hingga pada satu tempat rombongan kerajaan ini masuk ke sebuah anak sungai. Namun ternyata, mereka terpaksa tidak mampu melanjutkan perjalanan karena terhalang oleh sebuah batang besar yang melintang di tengah sungai. Batang ini berusaha mereka potong dengan parang. Anehnya batang ini ternyata mengeluarkan cairan seperti darah yang berwarna kehitaman. Ternyata batang tersebut adalah seekor ular besar. Tempat ini kemudian diberi nama Sungai Nilo, karena warna darah kehitaman yang mengucur terkesan seperti nila (racun).

Akhirnya rombongan Kerajaan Kampar tersebut lalu memutuskan untuk membangun istana kerajaan di atas Sungai Rasau. Istana ini disebut dengan “istana terapung”.

Pada suatu masa, Kerajaan Kampar di Sungai Rasau ini kemudian pindah termpat lagi ke hilir dan akhirnya menempati tempat yang sebelumnya telah dilalau. Tempat ini kemudian disebut dengan Pelalauan yang pada akhirnya berubah menjadi Pelalawan. Kerajaan Kampar kemudian bertahan beberapa waktu dan kemudian juga disebut Kerajaan Pelalawan. Istana raja di tempat ini disebut dengan “istana sayap”. Selama berada di tempat ini istana sayap pernah dipindahkan ke tempat lain di sekitarnya. Istana baru lagi ini disebut dengan “istana limas”. Namun akhirnya lokasi istana lalu kembali lagi ke tepian sungai yang sebelumnya telah pernah ada, yaitu istana sayap.

Pada sore hari, para aktivis River Defender berkesempatan untuk mengunjungi beberapa tempat yang terkait dengan kerajaan ini. Ternyata di sini banyak sekali dijumpai peninggalan-peninggalan bersejarah yang dijadikan cagar budaya. Diantaranya adalah makam jauh di tepian Sungai Rasau, makam dekat di tengah ibukota kelurahan, meriam Kerajaan Pelalawan, dan Istana Sayap. Makam jauh dan makam dekat adalah pemakaman keluarga raja yang pernah berkuasa di kerajaan ini.

Para aktivis sempat terkejut melihat situasi makam jauh. Jalan menuju tempat tersebut telah ditutupi oleh rumput dan semak belukar. Bangunan pelindung makam telah lapuk digerogoti usia. Sementara itu lantai terasnya pun sudah retak. Sayang sekali makam raja-raja di tepian Sungai Rasau nyaris tidak terawat dengan baik. Tampaknya dibutuhkan adanya perhatian khusus untuk merawat dan melestarikan cagar budaya penting ini.

Berbeda dengan makam tersebut, Istana Sayap kondisinya sangat baik. Istana Sayap sangat megah dan menggambarkan kejayaan kerajaan ini. Sekalipun sebelumnya telah rubuh, istana ini kemudian direkonstruksi ulang pada tahun 2003. Rekonstruksi istana ini didasarkan atas informasi sejarah yang didapatkan dari Negeri Belanda. Kabarnya biaya rekonstruksi ini sangat mahal, hingga mencapai lebih dari 10 milyar rupiah. Seorang penjaga istana mengatakan bahwa biaya pembangunan ulang ini didukung oleh sebuah pabrik kertas terbesar se-Indonesia.

Selain informasi mengenai sejarah kerajaan, para aktivis River Defender juga mendapat cerita menarik lainnya. Sebagai ibukota kerajaan, Pelalawan adalah sebuah ibukota. Masyarakatnya hidup makmur dan tak kekurangan pangan dari kelimpahan ikan sungai dan rawa serta beras yang dihasilkan dari ladang-ladang pasang surut. Sistem perladangan ini dilakukan berpindah-pindah di hamparan tanah subur tepian Sungai Kampar yang dipengaruhi pasang-surut air. Kehidupan perladangan mereka telah nyaris hilang sama sekali. Kini daerah perladangan mereka di tepian Sungai Kampar telah berubah menjadi kebun-kebun karet. Kini warga Pelalawan sepenuhnya tergantung dari beras yang harus dibeli dari luar wilayah.

“Di sini sudah tidak ada ladang lagi. Satu-satunya lokasi perladangan yang tersisa hanya tinggal sepenggal tanah sempit di dekat pasar,” ungkap Edi Hanafi pada para aktivis. Ungkapan ini seakan dibenarkan dengan informasi yang didapatkan dalam data monografi desa di Kantor Kelurahan Pelalawan. Dari data tersebut penggunaan lahan tanaman pangan sangat sedikit dibanding lahan untuk tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit.

Kamis, 10 Juni 2010

Bersakit-sakit Menyusuri Sungai Kampar


Menyusuri Sungai Kampar dari wilayah hulu hingga ke hilir bukanlah hal mudah. Dari awal perjalanan tim ekspedisi harus menyusuri hulu Kampar dengan terseok-seok. Mesin tempel 2 tak bertenaga 40 PK tak selamanya dapat digunakan. Dayung pun harus dipakai jadi alat bantu. Air sungai begitu dangkal, hingga terkadang para aktivis River Defender harus turun dari perahu dan menyeretnya pelan-pelan agar tidak terantuk batu-batu di dasar sungai. Perjalanan di hulu pun jadi terasa sangat lama dan melelahkan. Berperahu dengan tenaga campur tarik ini berakhir di Kampung Rakit Gadang, Desa Lipat Kain. Perjalanan selanjutnya sudah berada di sungai yang dalam sehingga tidak ada lagi cerita menarik perahu.
Namun, ternyata kelegaan para aktivis tak berlangsung lama. Kali ini para aktivis harus dihadapkan pada kondisi peralatan transportasi mereka. Salah satu perahu karet mengalami kebocoran pada lunas dan bagian bawah haluannya. Sekalipun kebocoran ini tidak berakibat fatal pada keselamatan para aktivis, namun setidaknya beberapa kali perahu tersebut harus berhenti di tengah jalan. Kebocoran tak mungkin diperbaiki, maka yang harus dilakukan adalah memompanya. Kegiatan memompa ini terus dilakukan hampir setiap 30 menit sekali untuk menjaga stabilitas perahu saat mengarungi sungai.
Di perahu lain, situasinya tak jauh berbeda. Bukan badan perahunya yang bermasalah, tapi mesinnya. Mesin tempel ini terus ngadat selama dalam perjalanan. Mesinnya terbatuk-batuk, dan jika dimatikan sulit untuk dihidupkan kembali. Terkadang para aktivis harus menunggu 1-2 jam untuk memperbaikinya hingga dapat melanjutkan perjalanan. Beruntunglah salah satu anggota tim ekspedisi adalah seorang mekanik perahu motor. Dengan kepiawaiannya ia mampu memastikan mesin perahu tersebut terus melanjutkan perjalanan. Namun, ketika penyusuran sungai ini mencapai Jembatan Pangkalan Kerinci, malang tak dapat ditolak. Mesin perahu ini mati kembali dan harus dibawa ke sebuah bengkel perahu setempat. Kemalangan ini ternyata berkepanjangan karena akhirnya sang montir mem-vonis mesin perahu tidak layak pakai dan telah rusak parah. Para aktivis pun jadi terhenyak dengan kejadian ini.
Beruntunglah para aktivis masih tetap bersemangat untuk mensukseskan ekspedisi ini. Dalam sebuah briefing singkat di bengkel perahu, akhirnya para aktivis bersepakat meneruskan ekspedisi ini hingga akhir. Perjalanan dilanjutkan dengan cara menarik perahu karet yang bermasalah mesinnya, layaknya sebuah mobil derek yang sedang menarik mobil yang mogok.
Sekalipun perjalanan tetap dilanjutkan dengan semangat tinggi, namun kelelahan tak mudah disembunyikan oleh para aktivis River Defender ini. Perjalanan lima hari di bawah terik matahari Riau yang menyengat telah membakar kulit wajah mereka. Hidung dan dahi mereka berwarna merah-hitam dan kulitnya terkelupas. Kepala yang pening berdenyut-denyut karena sengatan matahari (heat stroke) pun terkadang membuat kondisi fisik mereka melemah. Topi dan penutup kepala kadang tak mampu melindungi sengatan matahari langsung.
“Berakit-rakit ke hulu berenang-renang ke tepian. Bersakit-sakit dahulu bersenang-senang kemudian”
Peribahasa ini lah yang mungkin jadi inspirasi dan penyemangat para aktivis River Defender. Sekalipun harus bersakit-sakit, kelelahan, dan menghadapi ujian berat, ekspedisi ini harus sukses. Mereka membayangkan saat dahulu kala dimana orang-orang Melayu Riau harus berdayung sampan di Sungai Kampar ini ke mana pun tujuannya. Tak hanya ke arah hilir seperti perjalanan ekspedisi ini, tapi bahkan ke arah hulu yang jauh lebih berat.
Temuan-temuan dan keramahan warga masyarakat di sepanjang aliran Sungai Kampar juga jadi penghibur dalam perjalanan ini. Sebagai contohnya, para aktivis River Defender dapat melihat langsung pengangkutan ribuan kubik kayu dengan tongkang raksasa dalam perjalanan hari kelima ini. Kayu-kayu tersebut akan dipergunakan sebagai bahan baku untuk industri kertas yang dioperasikan oleh PT. RAPP di Pangkalan Kerinci. Semoga saja ribuan kubik kayu ini tidak berasal dari kegiatan penebangan hutan besar-besaran yang dapat berdampak negatif pada kelestarian sungai.

Rabu, 09 Juni 2010

Wisata Memancing diantara Mentulik dan Langgam


Hari keempat penyusuran Sungai Kampar Kiri melintas di sebuah wilayah sepanjang aliran sungai yang tak kalah menariknya dengan Gunung Sahilan. Menarik karena wilayah ini biasanya hanya dikenal oleh para hobbyist atau penggemar wisata memancing. Wilayah ini terletak diantara Kabupaten Kampar dan Kabupaten Pelalawan, tepatnya antara Desa Mentulik dan Desa Rantau Baru. Wilayah panjang ini juga melintasi 2 sungai, yaitu Sungai Kampar Kiri dan Sungai Kampar yang jadi sungai utamanya.

Sejak dari Mentulik, hampir setiap kali para aktivis menjumpai adanya kegiatan memancing. Ada yang memancing dari tepian sungai dan ada pula yang memancing dengan bantuan alat transportasi. Alat transportasi yang digunakan adalah perahu dayung,robin (baca: perahu motor), dan pompong atau perahu motor dari kayu yang berukuran lebih besar dari robin.

Salah seorang aktivis River Defender, Dodi Fadilah secara kebetulan juga seorang penghobi kegiatan memancing. Menurutnya wilayah ini telah lama dikenal sebagai daerah tujuan bagi para pemancing.

“Para pemancing umumnya menuju Mentulik, Singawek dan Langgam,” ujar Dodi menjelaskan.

Tak hanya pemancing lokal yang mengunjungi wilayah ini, tapi juga para pemancing profesional dari Pekanbaru. Para mancing mania asal Pekanbaru ini umumnya datang dengan peralatan pancing yang sangat lengkap untuk memancing selama 1-2 hari penuh.

Para aktivis ini berkesempatan untuk singgah di salah satu desa yang disebutkan oleh Dodi.
Desa itu bernama Singawek.
Namun para aktivis sempat heran karena kampung disebutkan ternyata sebuah desa yang lengang dan nyaris tidak berpenghuni. Di sini yang tampak hanya reruntuhan rumah kayu, atau rumah kayu tak berpenghuni, dan sebuah mesjid yang telah lama ditinggalkan. Belakangan para aktivis baru mengetahui bahwa desa ini telah 12 tahun ditinggalkan oleh warganya karena banjir besar yang merendam seluruh desa. Warga Singawek lalu pindah ke tempat baru yang lebih aman. Tempat baru ini bernama Desa Gading Permai.

Untunglah akhirnya para aktivis sempat bertemu dengan dua orang warga Singawek. Mereka pun lalu berbincang dengan kedua warga Singawek tersebut. Adalah Pak Kaharudin, seorang lelaki tua berusia 60 tahun yang kemudian bercerita panjang lebar soal kegiatan memancing di sepanjang Mentulik hingga Langgam ini. Menurut Pak Kaharudin, Singawek selalu menjadi tempat tujuan wisata pancing. Begitu terkenalnya wilayah ini, hingga banyak pejabat pemerintah dari Pekanbaru yang datang melempar kail. Bahkan bekas gubernur Riau, Saleh Djasit juga pernah memancing di sini.

Mereka biasanya datang memancing pada hari Sabtu/Minggu atau hari libur. Aktivitas memancing ini umumnya bertambah ramai saat air sungai sedang surut. Mereka menyewa perahu maupun pompong dari warga Singawek. Harga sewanya tidak terlalu mahal. Untuk sebuah perahu dayung, uang sewanya selama sehari penuh hanya Rp 30.000. Sementara itu untuk sebuah robin, hanya Rp 100.000 per hari tanpa BBM. Jika ingin menyewa pompong karena berukuran lebih besar dan nyaman, para pemancing hanya butuh merogoh koceknya sebesar Rp 250.000 s/d Rp 350.000 per hari tanpa BBM.

Pak Kaharudin juga mengantar para aktivis River Defender untuk mengunjungi salah satu lubuk (tempat ikan) di kampung ini sambil memancing. Lubuk-lubuk ini biasanya selalu jadi titik pemancingan. Beberapa lubuk yang sering jadi titik pemancingan adalah Kuala Singawek, Teluk Sontok, Teluk Umbai, Teluk Gading, Teluk Mengkudu, Teluk Danau Paki, Kuala Langgai, Teluk Beringin, Teluk Pekuburan, Bakung, dan Lubuk Kuala Kampar.

Cukup banyak jenis ikan yang biasa menjadi target wisata pancing di Singawek. IkanBaung, Selais, Singgarat, Idung Budak, Kapiyek, dan Juoaro dapat dijumpai di sini. Jika beruntung, terkadang para pemancing dapat memperoleh ikan Tapah dan Patin berukuran besar di sini. Rudi Hartono (35 th), warga Singawek lain yang ditemui, mengatakan bahwa dua minggu lalu para pemancing yang datang rata-rata bisa mengangkat 5 kg ikan dari pancingnya.

Penuturan kedua warga Singawek ini tampaknya bukan isapan jempol belaka. Aliran Sungai Kampar Kiri di Singawek adalah wilayah yang selalu dijaga kelestariannya oleh warga setempat. Ninik Mamak setempat juga menetapkan sanksi yang berat pada orang-orang yang merusak wilayah sungai ini. Bahkan ada sebuah aturan yang melarang keras masuknya orang di luar warga desa untuk memasuki aliran Sungai Singawek. Ini adalah sebuah sungai kecil yang bermuara di Sungai Kampar Kiri. Bagi orang luar yang ingin memasukinya, maka ia haruslah memiliki saudara yang jadi warga Singawek dan sepengetahuan warga Singawek. Bagi warga Singawek sendiri, ditetapkan adanya retribusi sebesar Rp 1.000 setiap kali memasuki Sungai Singawek. Retribusi ini diperuntukkan bagi upaya pembangunan mesjid.

Ketika akhirnya tim ekspedisi Susur Kampar ini melanjutkan perjalanan, selalu saja berpapasan ataupun menjumpai para pemancing yang sedang beraksi dengan kailnya. Jadi, bagi para mancing mania yang ingin merasakan strike di sungai, coba lah ke Mentulik, Singawek, atau Langgam bro!!!


Selasa, 08 Juni 2010

Ikan, Madu dan Adat Gunung Sahilan


Sore yang cerah menyambut kedatangan para aktivis River Defender di Desa Sahilan Darussalam, Kecamatan Gunung Sahilan. Kelelahan yang mendera selama berperahu di bawah sengatan matahari segera hilang saat haluan menyentuh bibir pantai berlumpur di desa ini. Empat belas orang aktivis River Defender segera menghambur ke darat untuk melepas lelah.


Sebuah warung sederhana menyambut kami dengan suguhan khas “es madu” yang segar. Kepala yang pening akibat sengatan matahari (heat stroke) pun terobati. Minuman segar ini memang bukan minuman ringan biasa.

Madu yang jadi bahan utamanya telah dikenal luas sebagai obat dan minuman kesehatan. Saat kita meminum es madu, maka kita akan mendapatkan efek berganda, yaitu lepasnya dahaga serta kesehatan.

Gunung Sahilan adalah salah satu daerah penghasil madu alam yang cukup terkenal. Warga setempat telah memelihara pohon madu (sialang) sejak berpuluh bahkan ratus tahun yang lalu. Daerah ini tampaknya telah dianugerahi oleh Sang Pencipta menjadi daerah penghasil madu. Jika kita menyusuri sungai di sekitar Gunung Sahilan, maka dengan mudah kita dapat melihat puluhan koloni lebah madu yang bersarang pada cabang-cabang pohon Rengas (Glutta renghas) raksasa di tepian sungai. Pada sebatang pohon Rengas, kita dapat menemukan lebih dari sepuluh sarang lebah madu. Sementara itu pohon Rengas dapat dijumpai di hampir setiap tempat di tepian Sungai Kampar Kiri. Berdasarkan penuturan dari beberapa warga setempat, produksi madu dari daerah Gunung Sahilan dapat mencapai 10 ton setiap bulannya. Sebuah angka produksi madu yang luar biasa melimpah.

Setiap pohon madu di sini dilindungi secara adat. Jika ada yang menebangnya, maka ia akan terkena sanksi adat dengan nilai yang cukup besar. Orang yang terkena sanksi harus menyediakan satu ekor kerbau untuk disembelih sebagai gantinya. Pengenaan sanksi ini sendiri harus dilakukan dengan persetujuan lembaga pemegang aturan adat, yaitu Ninik Mamak.

Cerita madu ini membuat para aktivis River Defender memperpanjang waktu persinggahannya di Gunung Sahilan, hingga hari Senin (7 Juni 2010) siang. Ketertarikan para aktivis juga didorong oleh cerita-cerita lain yang jarang diketahui orang tentang tempat ini.


Di sini pernah ada sebuah kerajaan tua yang bernama Kerajaan Gunung Sahilan. Dari penuturan Kepala Desa Sahilan Darussalam dan beberapa orang tua yang ditemui, kerajaan ini telah ada bahkan sebelum berdirinya kota Pekanbaru. Sayangnya keberadaan kerajaan ini tidak dikenal luas dalam cerita sejarah umum. Padahal di tempat ini masih bisa dijumpai adanya istana kerajaan yang sampai sekarang masih dipergunakan sebagai pusat kegiatan-kegiatan adat.

Adat memang masih dipegang teguh oleh masyarakat Gunung Sahilan, tak hanya untuk urusan pernikahan dan kematian. Kegiatan mencari ikan juga dilindungi oleh aturan adat. Hal ini mungkin terjadi karena sebagian besar warga Gunung Sahilan tak bisa lepas dari keberadaan Sungai Kampar Kiri. Lebih dari 50% penduduknya menggantungkan kehidupan ekonominya pada kegiatan mencari ikan di sungai sejak dahulu kala. Sebagai contoh, adanya pengenaan sanksi adat pada orang yang melakukan pengambilan ikan dengan cara merusak seperti penggunaan racun dan listrik di wilayah ini. Sanksinya adalah satu ekor kerbau.

Setiap 5 tahun sekali masyarakat Gunung Sahilan menyelenggarakan perhelatan adat besar yang terkait dengan kelangsungan hidup nelayan sungai serta kelestarian sungai itu sendiri. Kegiatan ini disebut dengan nama “Menyemah Rantau”. Dalam kegiatan ini seluruh warga masyarakat berkumpul bersama dalam sebuah acara yang mirip dengan selamatan atau kenduri. Seekor kerbau akan disembelih untuk acara ini. Kemudian kepala kerbau tersebut dihanyutkan di batas hulu kenegerian Gunung Sahilan di Sungai Kampar Kiri.

Itu lah Gunung Sahilan, sebuah wilayah adat kenegerian yang cukup unik di sepanjang Sungai Kampar Kiri. Keberadaan sarang lebah madu di tepian sungai ini seakan jadi penanda bahwa ekosistem sungai telah menyediakan beragam hasil alam pada masyarakat Gunung Sahilan. Begitu pentingnya madu dan ikan sehingga membuat dua produk lokal ini pun harus diatur pengelolaannya secara adat. Selama beratus tahun adat telah berperan penting bagi kehidupan orang-orang Gunung Sahilan. Wajar bila hingga kini aturan adat yang menyangkut ikan sungai dan madu tetap dipegang teguh.

Semoga aturan adat seperti ini mampu bertahan dalam situasi sekarang. Situasi dimana hutan dan sungai semakin rusak, buruknya tingkat perekonomian masyarakat, dan rendahnya kepedulian orang akan upaya pelestarian lingkungan. Setidaknya adat Gunung Sahilan dapat menjamin perbaikan kehidupan ekonomi nelayan sungai dan kelestarian Sungai Kampar Kiri.


Mengais Rezeki Di Air Keruh


Sungai Kampar Kiri sedikit berbeda kondisinya dibanding Sungai Subayang. Kampar Kiri lebih lebar dan berlumpur. Airnya dalam, sehingga dua perahu karet yang digunakan oleh para aktivis River Defender dengan lancar dapat melintasi rute Lipat Kain – Gunung Sahilan di hari kedua ekspedisi Sungai Kampar ini.
Seperti juga pengarungan di hari pertama, pengamatan, wawancara dan penelitian kualitas air juga dilakukan sepanjang perjalanan sejauh 50 kilometer ini.

Cukup banyak aktivitas warga masyarakat yang dijumpai di sepanjang perjalanan, terutama yang terkait dengan Sungai Kampar Kiri ini. Hampir setiap orang yang dijumpai adalah nelayan setempat yang mencari ikan untuk dikonsumsi sendiri maupun untuk dijual. Mereka umumnya menggunakan tiga jenis alat tangkap ikan, yaitu pancing, jaring hanyut, dan perangkap ikan yang disebut “lukah”. Anehnya kondisi air sungai di sini berbeda jauh dengan di Sungai Subayang. Secara kasat mata, air Sungai Kampar Kiri terlihat sangat keruh layaknya kopi susu yang terlampau banyak campuran susunya. Berdasarkan pengukuran di lapangan, tingkat kecerahan airnya hanya sekitar 20 cm saja.


Keanehan ini pun akhirnya terjawab ketika para aktivis River Defender mewawancarai beberapa orang nelayan itu. Ternyata kebutuhan nelayan untuk mencari ikan telah mengalahkan logika mereka untuk mengais rejeki di air keruh. Ikan yang mereka dapatkan tidak lah melimpah. Mereka hanya mendapat beberapa ekor saja dalam setiap harinya.

Seorang nelayan tua bernama Pak Darmawis, bertutur jujur tentang menurunnya hasil tangkapan ini. “Dulu saya bisa dapat 30-40 kg ikan dalam sehari. Namun sekarang air sungai telah keruh sehingga ikannya pun terkadang tak dapat”, jelas Pak Darmawis.

Ketika ditanya lebih lanjut tentang penyebab kekeruhan sungai ini, Pak Darmawis mengatakan bahwa hal ini disebabkan oleh kegiatan penambangan emas di Sungai Sengingi. Sungai Sengingi adalah salah satu anak Sungai Kampar Kiri yang berhulu di Kabupaten Kuantan Sengingi.



Para aktivis River Defender ternyata juga mendapat penuturan serupa dari hampir setiap nelayan yang dijumpai. Semua mengeluh soal keruhnya air sungai sehingga mengurangi hasil tangkapan ikan mereka. Padahal daerah sepanjang aliran sungai ini telah sejak lama dikenal sebagai daerah penghasil ikan sungai. Rusaknya kondisi air sungai tentu saja akan mengganggu perekonomian di kawasan ini.

Sebagai ilustrasi tambahan, dua desa di tepian Sungai Kampar Kiri, yaitu Desa Gunung Sahilan dan Sahilan Darussalam. Dari penuturan seorang warga setempat, jika penduduk di kedua desa tersebut dihitung maka lebih dari 50% penduduknya menggantungkan hidup sebagai nelayan.

Minggu, 06 Juni 2010

Hulu Kampar telah berubah


Apa yang anda bayangkan jika anda diminta turut serta dalam sebuah ekspedisi penyusuran sungai di Sumatera? Bagi yang belum paham benar mungkin yang terbayang adalah kawasan hutan lebat di kiri-kanan sungai yang diarungi. Begitu pun dengan saya. Saat saya diajak turut serta, saya membayangkan akan merasakan suasana hutan belantara yang terbelah oleh sungai. Setelah saya mencobanya … ternyata situasinya jauh berbeda. Suasana liar dan alami yang saya bayangkan ternyata hanya bayang2 semu.

Beberapa teman baik mengundang saya untuk terlibat dalam ekspedisi penyusuran Sungai Kampar di Propinsi Riau. Bagi saya ini adalah sebuah kesempatan langka yang saying jika harus ditolak. Ada kerinduan dalam diri saya untuk kembali bertualang. Tawaran bertualang di aliran sungai yang panjangnya ratusan kilometer ini akhirnya saya terima.

Dari sebuah desa kecil di Kecamatan Kampar Kiri Hulu, akhirnya saya bergabung dengan tim ekspedisi susur Kampar yang menamakan dirinya River Defender. Akhirnya di desa ini, Desa Kuntu, saya memulai perjalanan petualangan ini.

Sepanjang perjalanan saya selalu berharap dapat melintas diantara rerimbunan hutan tepian sungai. Namun harapan saya ternyata tidak terpenuhi. Sepanjang perjalanan saya hanya menyaksikan kondisi tepian sungai yang telah berubah menjadi kebun. Daerah tepian sungai ini tenyata sudah berubah. Nyaris tak ada satupun hutan yang saya temui. Sepanjang kiri-kanan sungai telah berubah menjadi kebun-kebun karet dan kelapa sawit. Saya belum melihat adanya hutan sama sekali. Tepi sungainya penuh dengan runtuhan tanah akibat terjangan arus air.  

Air sungai yang di bagian hilirnya menjadi Sungai Kampar ini terlihat keruh oleh tanah dengan warna coklat susu. Seorang kawan anggota River Defender menyebutkan bahwa keruhnya air di sungai ini besar kemungkinannya disebabkan oleh meningkatnya aktivitas penambangan pasir dan batu (sirtu). Menurutnya kekeruhan air di bagian hilir lokasi penambangan selalu lebih tinggi dibandingkan hulunya. Hmmm … masuk akal juga saya rasa. Sepanjang penyusuran sungai hari ini saya menjumpai beberapa lokasi penambangan sirtu ini. Bahkan aktivitas penambangan ini dilakukan dengan menggunakan alat berat seperti excavator. Saya melihat sendiri betapa ganasnya alat keruk bermesin ini bekerja di tepian sungai.

Pengalaman menyaksikan aktivitas penambangan pasir di tepian Sungai Kampar ini masih belum seberapa. Beberapa saat setelah perahu kami merapat di Desa Rakit Gadang, kami langsung mendengar keluh-kesah warga setempat. Bukan soal keruhnya air. Tapi ini soal pencemaran bahan kimia berbahaya yang disebut merkuri. Sebuah anak sungai kecil yang mengalir ke sungai ini ternyata membawa bahan pencemar beracun ini. Sungai kecil itu bernama Sungai Sengingi. Warga setempat mengatakan bahwa racun tersebut berasal dari kegiatan penambangan emas di wilayah hulu Sungai Sengingi itu. Akibatnya kini warga setempat tak lagi dapat menggunakan air sungai untuk sumber air minum dan mandi. Banyak ikan yang mati keracunan dan banyak juga warga yang gatal-gatal terkena air tercemar itu.

Ternyata … wilayah hulu Sungai Kampar telah berubah. Tak hanya hutan yang hilang, tapi juga air yang keruh dan tercemar merkuri. Arrrrgghhh!!!

[dituliskan oleh salah seorang anggota tim Susur Kampar]

Kamis, 03 Juni 2010

Purna MTQ Pekanbaru menjadi Saksi Pelepasan Tim Ekspedisi

‘Kegaduhan’ terjadi di ruang depan berukuran 5 x 6 meter itu. Dua orang sibuk melakukan check-list terhadap perlengkapan, dua orang lainnya menatap monitor laptop dengan worksheet excel, dan dua lainnya melakukan coret-coret di papan putih untuk simulasi estimasi waktu. Di ruangan itu juga tergeletak sebuah rubber-boat dengan dayung dan pelampungnya, selain itu gulungan terpal bertindihan dengan kotak plastik. Sementara dinding ruangan berhiaskan tempelan plano dengan coretan spidol warna-warni.

Kantor di Jalan Nangka gg Subur di Pekanbaru ini –yang merupakan Kantor Hakiki- memang menjadi pusat kegiatan Ekspedisi Sungai Kampar, ekspedisi yang diinisiasi oleh Yayasan Mitra Insani,Telapak Badan Teritori Riau, Hakiki, dan AMAR, sebagai bagian dari upaya mewujudkan konsep Pengelolaan Sungai berbasis Potensi secara Integratif.

Hari ini, tepat 2 hari sebelum pelaksanaan kegiatan yang akan dilaksanakan bersempena dengan Hari Lingkungan Hidup Sedunia. Ekspedisi akan berlangsung selama 7 hari, diawali pada 5 Juni 2010 di Desa Batu Sanggan – Kampar Kiri Hulu hingga Desa Teluk Meranti – Semenanjung Kampar pada 12 Juni 2010. Tim teknis sedang sibuk-sibuknya memastikan segala perlengkapan, perijinan, dan segala kebutuhan untuk kegiatan ini dapat dipersiapkan dengan baik.

Akhwan ‘Wewen’ Binawan, Ketua Ekspedisi tengah mendiskusikan angka-angka budget kegiatan ini dengan Rahmad ‘Amek’ Sentosa. Mereka berdua nampak puas, dana kegiatan dengan ‘saweran’ini nampaknya akan mencukupi kebutuhan biaya ekspedisi. Lain halnya dengan Dedi dan Awang, yang sedang terlibat perdebatan terkait dengan kebutuhan logistik, serta Fatra dan Zen yang gaduh dengan simulasi ekspedisinya. Suasana yang ‘semrawut’ namun menyenangkan ini tentu teman-teman biasa temui menjelang deadline kegiatan.

Sebanyak 12 orang akan menjadi pelaksana ekspedisi ini, ditambah dengan dua orang tim support dari darat, dan seorang petugas di Pekanbaru yang akan menjadi benteng terakhir koordinasi dan tanggap darurat. Para penjelajah sungai ini akan melakukan petualangan sekaligus melaksanakan kampanye penyelamatan Sungai Kampar. Diskusi dengan masyarakat desa, serta pengamatan sosial, budaya dan ekologi akan menjadi agenda tim ekspedisi.

Pelepasan tim akan dilakukan di pelataran Gedung Purna MTQ Pekanbaru, pada Jumat (4/6) siang, setelah sebelumnya akan dilakukan konvoi tim ekspedisi untuk sosialisasi kegiatan ini dengan cara keliling kota Pekanbaru. Besar harapan, kegiatan ini akan menjadi titik awal upaya penyelamatan sungai


Nah, kita tunggu up-date harian dari kegiatan ini!!