Rabu, 16 Juni 2010

Akhir Perjalanan...


Sabtu (12/6), para aktivis River Defender mengakhiri kegiatan Ekspedisi Sungai Kampar di Kecamatan Teluk Meranti, Kabupaten Pelalawan. Setelah melalui perjalanan sepanjang 380 kilometer, kali ini para aktivis menyempatkan diri untuk berkeliling melihat berbagai hal yang terjadi di kecamatan ini.
Para aktivis River Defender menjumpai hal menarik di kecamatan ini. Daerah ini memiliki pantai pasir yang cukup luas.




Begitu luasnya hingga ketika air surut hampir menghubungkan dua sisi Sungai Kampar. Beberapa kali perahu karet tim ekspedisi terpaksa tidak bisa dijalankan karena surutnya air sungai. Letak hamparan pasir di sungai ini pun dapat berpindah-pindah sewaktu-waktu. Menurut warga setempat kondisi ini kadang menyulitkan transportasi perahu, terutama bagi mereka yang tidak kenal alur pelayaran di wilayah ini. Berpindahnya alur pelayaran dan hamparan pasir ini dipengaruhi oleh gelombang pasang yang dikenal dengan istilah “bono”. Bono adalah gelombang pasang raksasa yang membawa serta pasir dan lumpur. Bono dapat menyapu apapun yang berada di sungai ini dengan kecepatan tinggi dan daya rusak yang hebat. Sekalipun berbahaya bagi pelayaran, namun fenomena alam menarik ini juga berpotensi sebagai atraksi wisata. Bono juga membuat pantai pasir yang dangkal di wilayah ini tampak indah.

Air pasang telah membuat pasir pantai bergelombang dan membentuk pola yang indah seperti sisik ikan. Pasir bersisik ini berhias warna coklat tua karena air gambut dari anak sungai dan parit.

Di Desa Teluk Binjai, para aktivis juga mengunjungi kawasan pertanian masyarakat. Warga desa ini ternyata adalah masyarakat petani dan nelayan sungai. Gabungan dua profesi ini membuat desa ini cukup mandiri atas pemenuhan kebutuhan bahan pangannya. Mereka nyaris tidak pernah membeli beras. Lauk-pauknya pun dipenuhi dari kelimpahan ikan dari Sungai Kampar. Ini adalah gambaran kehidupan orang Melayu yang masih bertahan selama ratusan tahun hingga saat ini. Dari keterangan warga setempat, saat ini cukup sulit menjumpai keadaan serupa ini di tempat-tempat lain di sepanjang Sungai Kampar.

Masyarakat Teluk Binjai bertani dengan sistem pertanian ladang padi pasang-surut. Lahan pertanian mereka berada di hamparan subur tepian Sungai Kampar. Tepatnya di sisi selatan kawasan ekosistem gambut Semenanjung Kampar. Hingga saat ini, terdapat hamparan seluas 700 hektar di lokasi perladangan tersebut. Menariknya, padi yang ditanam di tempat ini adalah varietas padi lokal yang organik. Sekalipun hanya sekali dalam setahun, namun setiap panen jumlahnya mampu mencukupi kebutuhan pangan mereka, setidaknya selama setahun ke depan.

“Beras kami tak beli, ikan pun tinggal mencari. Kami tak pernah memakai pupuk untuk tanaman padi kami”, demikian tutur Samsuir, Kepala Desa Teluk Binjai.


Setelah singgah melepaskan dahaga di sebuah kedai kecil di Teluk Meranti, para aktivis River Defender lalu berkunjung ke lokasi Camp Masyarakat Untuk Perlindungan Semenanjung Kampar. Camp ini didirikan pada tahun 2009 lalu bersama-sama oleh warga masyarakat setempat, sebuah LSM dari Pekanbaru (Jikalahari) dan Greenpeace. Lokasinya berada tepat di seberang ibukota kelurahan Teluk Meranti. Ketika sampai di camp ini, tidak seorang pun yang terlihat berada di sana. Menurut cerita dari beberapa sumber, camp ini terbakar di awal tahun 2010 ini. Para aktivis River Defender menjumpai sisa-sisa camp yang hangus terbakar di beberapa bagian. Hingga saat ini masih belum diketahui penyebab kebakarannya. Pada bagian yang terbakar terlihat adanya garis polisi (police line).

Selama berada di Teluk Meranti, para aktivis juga bertemu dengan beberapa warga masyarakat dan seorang sukarelawan Greenpeace. Dari penuturan mereka, dikatakan bahwa saat ini warga masyarakat dan Greenpeace sedang menyiapkan sebuah pembibitan jenis-jenis pohon asli setempat di dekat camp. Kemungkinan bibit-bibit pohon yang dikumpulkan tersebut akan dipakai untuk ditanam di wilayah-wilayah yang hutannya telah rusak. Para warga masyarakat dan Greenpeace juga sedang membangun ulang camp yang telah rusak terbakar.

Berakhirnya Perjalanan Ekspedisi
Minggu (13/6), setelah mengadakan perpisahan sederhana dengan masyarakat desa teluk binjai sebagai tanda berakhirnya ekspedisi. Tim bergerak menunju ke Pekanbaru lewat jalan darat dengan menggunakan 3 mobil. Terlihat kesedihan di wajah aktivis River Defender karena harus mengakhiri ekspedisi ini, setelah lebih kurang selama 8 hari bersama – sama mengarungi sungai kampar. Hujan, panas dan masalah yang mendera dihadapi bersama – sama, entah kapan lagi kebersamaan ini akan terjadi lagi.

Tetapi yang jelas ekspedisi sungai kampar ini merupakan langkah awal bagi River Defender dalam upaya untuk penyelamatan sungai khususnya di Riau. River Defender kedepan akan melakukan ekspedisi – ekspedisi serupa disungai – sungai yang ada di riau. Selain ekspedisi Aktivis River Defender juga akan melakukan aksi – aksi rutin bulanan yang difokuskan untuk sungai – sungai di Kota Pekanbaru...”jadi bagi masyarakat yang ingin melihat sungai yang bersih silahkan ikut dan bergabung dengan kegiatan – kegiatan kami” ujar Fatra Budianto, salah seorang Aktivis River Defender.

“ tunggu aksi dan ekspedisi kami berikutnya” ujar Akhwan “Wewen” Binawan , Koordinator Ekspedisi Sungai Kampar River Defender, “kami mengetuk hati masyarakat agar lebih peduli dengan sungai dan lingkungan kita supaya bisa terjaga, tidak perlu dengan kegiatan yang besar dengan membuang sampah pada tempatnya saja kita sudah ikut berpartisipasi dalam menjaga lingkungan kita” tambah Akhwan.

River Defender merupakan kelompok relawan Peduli sungai yang fokus mengkampanyekan penyelamatan sungai. sungai - sungai diriau sekarang ini kondisinya sudah sangat memprihatinkan, banyak aktivitas - aktivitas manusia telah merusak ekosistim dan fungsinya sebagai sumber kehidupan makhluk hidup.


0 comments:

Posting Komentar